Jumat, 27 Januari 2012

Liberalisme dan Civil Society

            Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.
            Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). 
Baca selanjutnya
            Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
             Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)
            Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed) Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu. Negara hanyalah alat (The State is Instrument).  Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri.  Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).  Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Dua Masa liberalisme
            Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan.  Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern.  Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16.  Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20.  Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada. Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru.  Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.
            Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan.  Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Ini semua dilarabelakangi oleh tindakan gereja yang sangat menjunjung tinggi mitos, bahkan menghukum mati terhadap penggagas teori ilmu pengetahuan yang nyatanya bertentangan dengan keputusan gereja saat itu. Diantara ilmuan yang dibunuh adalah Galileo Galilai.  Dengan adanya penolakan terhadap dominasi gereja yang dinilai menghambat kreatifitas manusia, maka lahirlah slogan ‘ serahkan urusan Tuhan pada tuhan dan serahkan urusan manusia pada manusia’ artinya agama bagi kalangan pemikir liberal barat adalah sesuatu yang bersifat personal / dunia individual. 
             Perihal dengan kebebasan, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan.  Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.  
            Pemikiran Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan liberalisme klasik
            Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup banyak – baik itu dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik.
Marthin Luther dalam Reformasi Agama
            Gerakan Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma.  Pada saat itu keberadaan agama sangat mengekang individu.  Tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja.  Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula.  Individu menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun. Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak – misalnya saja kritik oleh Marthin Luther; seperti : adanya komersialisasi agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya timbul sebuah reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya “terkekang”.
John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda
            Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature.  Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya.  Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda.  Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya.  Namun, manusia ingin hidup damai.  Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru – suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa).
            John Locke (1632 – 1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’.  Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.  Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme.  Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara.  Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik.  Liberalisme klasik pada dasarnya menghasilkan dua ideologi besar yaitu demokrasi dan kapitalisme.  
 Berikut kami kutip Konsep liberal bagi Luthfi al-Syaukani ( salah seorang anggota Jaringan Islam liberal Indonesia ) dan pembacaanya terhadap karya Charlez Kruzman ‘ liberalisme’.
Lutfhi al-Syaukani memahami liberalisme yang digunakan Kurzman hanya sebagai sebuah nomenklatur untuk mengekspresikan sebuah sikap tertentu yang ada dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan Kurzman sendiri, ia tidak terlalu peduli dengan istilah yang digunakannya. “Islam Liberal” hanyalah istilah untuk memudahkan kita menangkap satu wajah Islam yang progresif , toleran , inklusif , dan pluralis.
            Masih menurut Luthfi al-Syaukani Beragamnya makna “liberal” yang digunakan Kurzman tercermin pada tiga model Islam Liberal yang diamatinya, yakni Syariah Liberal, Syariah Diam, dan Syariah Tafsir. Ketiga model ini menunjukkan bahwa liberalisme dalam Islam tidak satu. Ia bisa ditelusuri dan ditemukan dalam sumber otoritatif Islam (Syariah), bisa merupakan sesuatu yang diciptakan, dan bisa juga merupakan sesuatu yang ditafsirkan dari sumber-sumber otoritatif itu.
Dengan ketiga model itu, Kurzman dengan leluasa memilih para intelektual muslim yang dianggapnya liberal. Dan karena dasar liberalisme di sini adalah Islam itu sendiri, maka pilihan-pilihan Kurzman terhadap tokoh yang diangkatnya, kerap mengundang kontroversi. Misalnya, ia menganggap Yusuf Qardhawi sebagai seorang intelektual liberal yang didudukkan sejajar dengan Fatima Mernissi dan Mohammed Arkoun. Padahal banyak orang menganggap bahwa Qardhawi seorang tokoh tradisional, yang kalaulah tidak “konservatif” pastilah bukan seorang “liberal” dalam pengertiannya yang umum.
Kurzman memuji apa yang telah dilakukan oleh Ali Abd al-Raziq, intelektual Mesir yang dengan berani menyatakan bahwa tak ada rujukan yang jelas baik dalam Alquran maupun hadis tentang bentuk definitif untuk pengelolalan sistem politik sebuah negara. Pandangan Abd al-Raziq itu berangkat dari pemahaman terhadap syariah yang diam(silentsharia).
Dan Batasan Liberalisme Islam. Ketika menggunakan istilah “Islam Liberal” Kurzman menyadari betul bahwa istilah ini terlalu luas dan tak bisa disederhanakan dalam sebuah definisi. Karena itu, ia menganjurkan kita agar memandang istilah ini sebagai alat bantu analisis dan bukan sebagai sebuah katagori yang mutlak.
            Kita semua tahu bahwa istilah “liberal” di dunia Islam memiliki konotasi negatif. Ia selalu dikaitkan dengan gerakan liberalisme Barat yang berusaha menolak nilai-nilai lama dan membuka pintu seluas-luasnya bagi kreatifitas dan perubahan. Karena tidak ada batasan yang jelas terhadap kreatifitas dan perubahan itu, liberalisme kerap dianggap sebagai konsep “destruktif” yang berusaha menghancurkan nilai-nilai lama yang dianut orang banyak.
Penolakan sebagian kaum muslim terhadap gagasan liberalisme adalah karena ketakutan mereka terhadap kreatifitas dan perubahan yang tak memiliki batasan yang jelas itu. Tapi, bagi mereka yang telah mengetahui dan menyadari adanya batasan-batasan itu, mereka cenderung bersikap lebih liberal. Kurzman memberikan contoh bagaimana seorang seperti Yusuf Qardhawi bisa menjadi begitu “liberal” dalam soal toleransi dan penghargaan terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Karena memiliki pemahaman dan batasan-batasan yang jelas tentang persoalan ini, Qardhawi bisa menjadi “liberal.” Tentu saja, tidak mudah mencari batasan-batasan liberalisme dalam Islam. Masing-masing orang memiliki persepsi dan pemahaman sendiri tentang batasan-batasanitu.
            Empat Agenda Islam Liberal. Kurzman membagi bukunya kepada enam bagian (agenda) yang sesungguhnya merupakan tema-tema sentral yang didiskusikan oleh intelektual kaum muslim sejak awal era kebangkitan. Keenam agenda itu adalah Menentang Teokrasi, Demokrasi, Hak-Hak Perempuan, Hak-Hak Non-Muslim, Kebebasan Berpikir , dan Gagasan Tentang Kemajuan.
Dua agenda pertama, Teokrasi dan Demokrasi sesungguhnya adalah proyek intelektual yang sama, yakni menyangkut hubungan Islam dan politik, sedangkan agenda Kemajuan merupakan proyek yang secara implisit sudah menjadi gagasan setiap intelektual muslim. Dengan demikian, saya cenderung berpendapat bahwa agenda yang dibuat Kurzman sesungguhnya ada empat. Yakni, Demokrasi, Emansipasi, Pluralisme, danKebebasanBerpendapat.
            Menyangkut Agenda kedua, Kurzman menyatakan bahwa argumen terkuat menyangkut hak-hak kaum perempuan adalah Alquran. Pandangan-pandangan yang yang kerap kali merugikan hak-hak kaum perempuan bukan berlandaskan kitab suci Alquran, tapi bersumber pada prasangka-prasangka budaya, baik yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi maupun pendapat-pendapat sebagian ulama yang kebanyakan dikoleksi dalam kitab-kitab fikih.
Menurut Kurzman, ada dua pendekatan yang dilakukan intelektual muslim dalam memandang persoalan ini. Pendekatan pertama adalah lewat “Syariah Liberal.” Yakni bahwa masalah kebebasan berpendapat adalah masalah yang sangat prinsipil bagi manusia. Karena kebebasan adalah raison d’etre dari keberadaan manusia di dunia ini, maka Tuhan bukan hanya menganjurkan manusia untuk bebas, tapi Tuhan juga tak mampu mencegah seseorang untuk berpendapat (Q.S 2:30). Kebebasan berpendapat adalah anugerah Tuhan dan properti yang paling berharga bagi manusia.
A.    Civil society ( masyarakat madani )
Pemikiran tentang civil society telah dikemukakan oleh filosof Yunani Aristoteles (384-322 SM). Dimana civil society merupakan system kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society dan pandangan ini tentunya sudah berubah dengan term civil society yang berkembang sekarang ini. Yakni masyarakat sipil diluar dan penyeimbang negara.
Di zaman modern, istilah itu diambil dan dihidupkan lagi oleh John Locke (1632-1704) dan Rousseau (1712-1778) untuk mengungkapkan pemikirannya mengenai masyarakat dan politik. Locke umpamanya, mendefinisikan masyarakat sipil sebagai "masyarakat politik" (political society). Masyarakat politik itu sendiri, adalah merupakan hasil dari suatu perjanjian kemasyarakatan (social contract), suatu konsep yang dikemukakan oleh Rousseau, seorang filsuf sosial Prancis abad ke-18.
Dalam perjanjian kemasyarakatan tersebut anggota masyarakat telah menerima suatu pola perhubungan dan pergaulan bersama. Masyarakat seperti ini membedakan diri dari keadaan alami dari suatu masyarakat.
            Muhammad AS Hikam sebagai salah seorang penganut civil society dengan merujuk pada Tocquiville menyatakan bahwa civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain: kesukarelaan sosial (Voluntary), keswasembadaan (Self Generating), dan keswadayaan (Self-Supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang berlaku didalamnya.
            Unsur yang menajdi prasyarat untuk menciptakan Masyarakat madani diantaranya adalah wilayah publik yang bebas, demokrasi, toleransi, pluralisme dan keadilan sosial [1]. Ke lima unsur diatas telah menjadi perhatian yang besar sejak tahun 1980-an hingga 1990-an. Diantara pemikir Muslim indonesia yang membahas kajian civil society ini adalah Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra. Terlebih dalam unsur toleransi bagi Nurcholis Madjid adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. 
Dalam prespektif ini, toleransi bhkan sekedar tuntutan sosial masyarakat majemuk belaka, tetapi sudah menjadi bagian penting dari pelaksanaan ajaran moral agama. Bagi Azra bahwa dalam kerangka menciptakan kehidupan yang berkualitas dan berkeadaban (Tamaddun/civility), masyarakat madani (civil society ) mengahajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik dikalangan warga bangsa. [2]
B.   ayat-ayat tentang liberalisme dan civil society
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
     Artinya tidak ada pemaksaan dalam menganut agama (Islam), sesungguhna telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa yang ingkaar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang teguh kepada tali yang sangat kuat dan tidak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. (QS: Al Baqarah : 256)
     Dalam Islam pun terkenal sejarah piagam madinah (Mitsyaq Madinah). Dimana ini akan menjadi legtimasi telah adanya civil society dalam pengertian yang sederhana tentunya. Keadilan dan kesetaraan terlihat sangat jelas dalam piagam madinah tersebut. Nabi Muhammad saw menggunakan kata nahnu ummat wahidah ini pastinya akan menjadi indikasi bahwa keadilan dan kesetaraan (equailty) telah nabi praktekkan ketika berada di madinah. Contoh hadits lain yang masih berbicara keadilan man qatala dzimmiyan fa ana khasmuhu ( siapa yang membunuh kafir dzimmi maka saya akan menjadi musuhnya ).
    
D.Komentar Ulama dan cendikiawan Muslim tentang Liberalisme dan Civil society.
Yusuf al-Qaradhawi termasuk diantar orang yang menolak sekularisme begitupun liberalisme. Terbukti al- Qaradhawi mengkritik karya Syeikh Ali abdul Razaq, tatkala dengan berani melontarkan term ‘sekularisme’. Menurut Abdul razaq agama Islam tidak pernah memerintahkan membentuk pemerintahan, Islam hanya berisi dakwah murni agama, tidak ada hubungannya dengan kekuasaan karena kekuasaan adalah urusan dunia yang bertentangan dengan agama.
Memang corak pemikiran Ali Abdul Razak ini lebih condong ke arah sekularisme, namun menurut kami corak ini sudah memberikan aroma tersendiri bagi perkembangan politik Islam terutama yang terjadi dikalangan cendikiawan muslim dan ulama saat ini. Bukankah berpikir ala Ali abdul rozak diatas merupakan bagian dari corak liberalisme.
Bagi al-Qaradhawi seseorang muslim tidak mesti harus menjadi konservtiv absolut, namun juga bukan harus menjadi inklusif yang tercerabut dari akarnya. Dari akarnya disini sudah pasti dimaksud dengan tradisi pemikiran yang tidak mesti semuanya yang harus ditolak. Atau bahkan melakukan ‘dekonstruktif ’ konsep pemikiran klasik. Terlebih dalam masalah keagamaan yang seharusnya tidak ada peran akal lebih jauh untuk melakukan interpretasi ulang.
Isu-isu liberalisme menarik perhatian kalangan Ulama Indonesia yang tergabung dalam MUI. Dan MUI menetapkan bahwa liberalisme , sekularisme dan pluralisme agama dalam pandangan haram. Ini bisa ditelusuri dalam keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia tahun 2005 nomor 7/MUNAS/MUI/2005.
Liberalisme agama dalam pengertian MUI adalah  memahami nash-nash agama (al-Quran dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Hingga ajaran liberalisme agama tidak sesuai dengan ajaran Islam. Singkatnya MUI mengharamkan umat Islam untuk mengikuti pemahaman Liberalisme. [3]
Muhammad Abid al-Jabiri menyatakan (pemikir asal maroko) ‘ menurut saya adalah keharusan menjauhkan slogan “sekularisme” dari kamus pemikiran Arab dan menggantinya dengan slogan “demokrasi” dan “rasionalisme” karena dua konsep ini merupakan ungkapan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat Arab’ [4].
Dari sini tentu kita dapat mengambil kesimpulan , bahwa demokrasi yang merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi untuk memenuhi kebutuhan akan Civil society.  


[1] Pendidikan kewarganegaraan, A. Ubedillah dan Abdul Razak, ICCE UIN Jakarta hal 186
[2] Ibid.
[4] Muhammad Abed al-Jabiri,  Agama,Negara dan penerapan Syariah. Hal 104 Yogyakarta : Fajar Pustaka. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar