Selasa, 01 November 2011

Mahkum 'Alaih

Ushul fiqh, adalah disiplin ilmu keislaman yang telah berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam. Ushul yang berarti dasar/pokok dan fiqh adalah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Sudah barang tentu konsep ushul fiqh berkembang seiring dengan berkembangnya pemahaman fiqh yang kembali kepada perbuatan mukallaf. Dengan ungkapan lain, Ushul fiqh adalah system berpikir fiqh. Dimana penggalian hukum Islam / fiqh mesti menggunakan caranya ushul-fiqh.
            Jika dilakukan flash back mengenai historitas awal perkembangan kajian disiplin ini mulai Era Risalah (Nabi Muhammad), maka kita akan menemukan bahwa disiplin ini belum menjadi perhatian para sahabat, karna para sahabat masih dalam tataran penyiaran Islam keberbagai penjuru asia-afrika saat itu.  Dan seiring penyiaran itu para sahabat mengajarkan Islam sesuai apa yang mereka peroleh dari Rasulullah. Hingga setelah kemapanan dunia Islam dengan stabilitas yang terjadi ditengah masyarakat. Sepeti sahabat Ibnu mas’ud yang banyak pengaruhnya di kufah, dimana Ibnu Mas’ud diutus oleh khalifah Umar bin Khatab agar menghajarkan kepada masyarakat kufah ilmu agama hingga lahirlah majelis ke-ilmuan yang ada dikufah dibawahnya. Kemudian ketika fiqh beserta wacana mengalami perkembangan tapi masih ada satu kekurangan yang dirasakan oleh para ulama pasca tabi’in yaitu tidak tersusunnya secara sistematis dalam bentuk buku mengenai pijakan pokok memahami fiqh. Nah dari sinilah Imam as-Syafi’i mulai menyusun ushul fiqh dalam kitabnya ar-Risalah.
Read More...
             Disini kita membahas sesuatu yang berkaitan dengan mahkum ‘alaih atau subyek hukum. dengan bahasa fiqhnya yaitu mukallaf. Dimana tema ini termasuk bagian yang dibahas oleh ahli ushul fiqh (Ushuli).
            Hukum adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik yang berupa perintah, larangan, memilih dan ketetapan. Dengan begitu hukum mesti berhubungan dengan orangnya, dengan istilah lain mahkum ‘alaih  (orang yang menjadi obyek hukum atau dengan istilah hukum disebut Subyek hukum) jadi mahkum ‘alaih adalah orang mukallaf , karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak. Dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.

Mahkum ‘Alaih
Wahbah Zuhaili mendefenisikan Mahkum ‘alaihi dengan seseorang yang berkaitan dengan titah Ilahi dengan perbuatannya. Dan mereka di namakan Mukallaf. Dan mereka mahkum ‘alaihi atau mukallaf diberikan ketentuan :
1.      Bahwa seorang mukallaf mampu memahami dalil taklif (pembebanan) karna sesungguhnya taklif itu merupakan khitab ( titah ) sedangkan titah yang diberrikan kepada orang yang tidak berakal dan faham maka itu mustahil. Dan kemampuan untuk memahami menggunakan akal yang dengannya bisa memahami dan memperoleh kepastian / kebenaran (idroq).  
2.      Bahwa orang gila, anak-anak yang bukan mumayyiz tidaklah termasuk mukallaf, karna mereka tidak memiliki kemampuan untuk memahami.
3.      Orang yang tidur , orang yang lupa, dan tidak pula orang yang mabuk dan itupun di karenakan mereka tidak mampu memahami hukum syar’i.

Akal sebagai dasar taklif
            Dasar taklif (pembebanan) disepakati oleh ulama adalah akal dan faham, dengan begitu orang gila dan anak-anak( yang belum sempurna akalnya) tidak bisa dikatakan mukallaf. Akal yang mampu memahami itulah yang menjadi landasan taklif, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Amidy : “para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan faham. Karena taklif (pembebanan) adalah tuntutan, maka mustahil membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak faham, seperti benda mati atau binatang. Sedang orang gila dan anak-anak yang hanya mempunyai pemahaman global terhadap tuntutan tanpa pemahaman yan rinci bahwa tuntutan itu merupakan perintah dan larangan yang mempunyai dampak pahala atau siksa, atau bahwa yang memerintah adalah Allah yang harus ditaati, maka statusnya untuk memahami secara rinci sama halnya dengan binatang atau benda mati yang tidak mampu memahami tuntutan dasar. Orang demikian dimaafkan dalam hal tidak mampu memahami taklif, karena tujuan taklif tidak saja tergantung pemahaman dasar tuntutan, tetapi juga kepada pemahaman yang rinci atas tuntutan itu. Adapun anak-anak yang cakap ( mumayyiz ) meski ia mengerti apa yang tidak mengerti oleh anak yang tidak cakap, tetapi pengertiannya itu tak selengkap pengertian orang yang telah memiliki yang sempurna. Dalam memahami tentang adanya Allah sebagai Dzat yang be  rfirman dan memberi talklif kepada hamba, atau tentang adanya rasul yang bersifat jujur dan menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah Swt, misalnya pengertian mereka tidak sampai pada sistem taklif sebagaimana pengertian orang yang telah sempurna pemikirannya. Meskipun seorang anak telah mendekati baligh dalam jangka waktu sekejap, dan pemahamannya sudah sampai pada waktu baligh,  namun karna akal dan pemahaman   maka menetapkan batas umur baligh. Dengan adanya batas itu Al lah menghapus taklif umur atas dasar meringankan (takhfif), sebagaimana sabda Nabi : digugurkan beban taklif atas tiga hal, anak sampai baligh, orang tidur sampai bangun,  dan orang gila hingga sembuh”. (al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, oleh al-Amidy, juz 1 hal :125,216).
            Dari kutipan diatas dapat ditarik tiga kesimpulan :
1.      Dasar taklif adalah akal, karna takaalif itu merupakan tuntutan Allah Swt. Orang tidak bisamenangkap tuntutan itu kecuali dia berakal dan dapat memahaminya.
2.      Akal itu berkembang secara bertahap. Kesempurnaan akal itu tumbuh sejak kecil dan akan sampai batas kesempurnaannya pada masa tertentu.  
3.      Pertumbuhan akal adalah hal yang abstrak, dan berproses seiring dengan perkembangan waktu sampai batas kesempurnaannya. Sebagai tanda atau batas yang konkrit adalah umut baligh yang memisahkan antara kesempurnaan dan kekuarangan akal. Pada saat sampai batas umur itulah taklif mulai berlaku.  
Anak-anak yang tidak cakap (ghair mumayyiz) dan orang gila itu masih terkena taklif  harta (perdata). Jika mereka merusak harta orang lain, maka harus di ganti dengan hartanya. Dan jika melakukan tindak pidana maka ia dikena diat (tebusan) atas hartanya. Para ulama juga sepakat bahwa harta mereka juga wajib zakat, dan secara ijma’ juga disepakati bahwa wajib zakat atas tanaman dna buah-buahan mereka. Itu juga merupakan taklif, sehingga mereka secara mutlak tidak dikena taklif.
Para ulama Ushul memberi jawaban : bahwa bila orang gila dan anak-anak tiodak dikenai tuntutan taklif dengan alasan mereka tidak berakal dan tidak cakap sebagai dasarnya, tetapi mereka masih tetap manusia yang dengan alsan ini yang memberikan dia hak dan tanggung jawab. Karna itu mereka memiliki hak pada harta, dan jika mereka memiliki hak maka ada beban atas kepemilikan itu.
Kemampuan untuk Taklif
Kemampuan (ahliyah) ialah kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan   hak. Artinya orang itu pantas menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain, dan pantas melaksanakannya. Dengan demikian kemampuan itu mengandung dua segi:
1.    Akhliyatul wujub, yaitu kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang dasar keberadaannya karena ia seorang manusia. 
2.    Ahliyatul ada’, yaitu kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak orang lain. Keberadaan kemampuan ini tidak hanya karna ia sebagai manusia, tetapi karena ia cakap (mumayyiz).
Para ahli fiqh menganggap keberadaan ahliyatul wujub itu sebagai hal yang relatif, sebagai tanggungan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban sesuai dengan kemampuannya. Tanggungan itu merupakan hal relatif dan teoritis, yang diperkirakan terwujud untuk menerima berbagai kewajiban dan beban.
Secara umum tanggungan itu diperkirakan ada agar manusia pantas untuk menanggung kewajiban dan menerima hak. Memperkirakan hal-hal yang teoritis bukan masalah aneh dalam lapangan hukum syara’ dan perundang-undang. Tapi, ada sebagian ulama yang memandang tidak perlu.
Adapun kondisi ahliyatul wujub terbagi kepada dua yaitu ahliyatul wujub naqish ( kurang ). Dan mereka seperti janin, yang disatu sisi mempunyai hak namun tidak memiliki kewajiban. [1] dan ahliyatul wujub kamil ( sempurna ) yaitu ditetapkan semenjak ia lahir dalam segala peran kehidupannya. Maka manusia layak untuk menjalankan kewajiban dan mendaptkan hak.
Adapun kondisi orang-orang yang memiliki kewajiban melaksanakan ahliyatul ada’  juga terbagi kepada dua yaitu ahliyatul ada’ kamil (sempurna) dan ahliyatul ada’ naqish ( kurang ). Artinya mereka memiliki kewajiban untuk melaksanakan secara sempurna dan ada yang kurang sempurna. 
Ahliyatul ada’ kamil adalah mereka yang telah baligh dan berakal (artinya dapat memahami hukum Syara’) baik balighnya secara tabi’at atau dengan sempurnyanya umur hingga 15 tahun [2] sebagaimana yang telah ditetapkan ulama jumhur.
Hal-hal yang menghalangi ahliyat a’warid ahliyah :
Dibagi berdasarkan dua hal yaitu given ( artinya tidak ada usaha manusia untuk mengkreasikannya ) seperti gila, dungu, anak kecil, lupa , tidur, pingsan, budak, sakit, haidh dan nifas serta kematian. Maka ini semualah yang menghalangi seseorang mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban agama.  Dan klasifikasi yang kedua adalah hal-hal yang bisa di usahakan, seperti mabuk,  bodoh jahl/safih, senda gurau, perjalanan, tersalah, paksaan dll. Itu semua dapat menjadi penghambat atau merubah kewajiban seseorang.



[1] اصول الفقه الاسلامي, وهبه زهيلي

Tidak ada komentar:

Posting Komentar