Rabu, 28 September 2011

Sanksi Pencurian dalam prespektif Islam

Sanksi Pencurian dalam prespektif Islam

Pengantar

            Fiqh yang merupakan bagian integral dari kehidupan umat Islam, mulai berdirinya disiplin ilmu ini sampai saat ini sudah pasti menyisakan perbedaan yang varian baik dari pendekatan maupun orientasi yang ingin dicapainya. Namun bukan berarti saking beragam perbedaan pendapat para ulama fiqh tersebut tidak memberikan sedikit pencerahan terhadap dinamika sosial dan ilmu keislaman.  Diantara pencapaian tersebut ialah fiqh yang sebagai ilmu pengetahuan tumbuh pesat dan bahkan telah “matang” – meminjam term yang dipakai az-Zamakhsyari-. Sehingga sebagiann kalangan telah merasakan sebuah kepuasan yang tiada taranya. Kepuasan tersebut lama-kelamaan telah memproduksikan sebuah sikap yang tidak kreatif dan melihat lebih jauh lagi. Namun bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa pencapaian yang ‘luar biasa‘ yang telah diraih oleh umat Islam mulai era tadwin hingga abad yang dipenuhi dengan taklid buta disamping gejolak politik dan pertarungan antar budaya yang harus diakui bahwa umat Islam telah mengalami mengalami era dekadensi, terdegradasi dari dunia ilmu pengetahuan.



Read More...
 Untuk semua pertarungan ilmu pengetahuan dan kontak sosial serta budaya telah menciptakan dunia tersendiri bagi fiqh. Akan tetapi harus diakui lagi baha fiqh- yang notabenenya adalah kajian lebih lanjut atas syariah yang terdapat dalam Al-quran dan Sunnah- masih menjadi pegangan mayoritas umat Islam dan sikap muslim terhadap kajian disiplin ilmu ini tidaklah lentur, karena syariah yang merupakan hasil pasti dari ‘langit’ yang tidak berubah seiring dengan kondisi ‘bumi’ namun fiqh yang merupakan produk manusia masih bisa dimungkinkan untuk di re-kontruksi sehingga fiqh yang saat ini sesuai untuk makhluk’bumi’ yang ada saat ini.
Maka oleh karena itu, diperlukan membawa fiqh yang tersosialisasi kepada seluruh Umat islam, terutama yang berkaitan dengan pidana Islam. Dan terakhir dalam tulisan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Hadits Ahkam.


Pembahasan
A.     Had Pencurian
Hadits yang berbicata tentang had pencurian terdapat dalam shahih bukhori dan muslim. Yang diriwayatkan oleh aisya dia berkata, Rasulullah bersabda “ tangan pencuri tidak dipotong kecuali seukuran seperemapt dinar lalu naik keatas. Dalam riwayat bukhori  “ dipotong tangan pencuri pada seperempat dinar kemudian naik.
Dalam teks bahasa arabnya hadits tersebut ialah
عن عائشة رضي الله هنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (( لا تقطع يد سارق الا في ربع دينار فصاعدا )) متفق عليه و اللفظ لمسلم, ولفظ البخاري (( تقطع يد السارق في ربع دينار فصاعدا ))[1]
Namun dalam riwayat ahmad dari aisyah juga hadistnya ialah potonglah tangan pencuri pada ukuran seperempat dinar dan jangan potong pada apa yang lebih kecil dari pada itu. Teksnya haditsnya sebagai berikut :
و في رواية لأحمد :اي من عائشة (( اقطعوا في ربع دينار ولاتقطعوا فيما هو ادنى من ذلك )) [2]
عَن أبي هُرَيْرَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قَالَ : قَالَ رَسُول الله [ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ] : " لعن الله السَّارِق ، يسرق الْبَيْضَة فتقطع يَده ، وَيسْرق الْحَبل فتُقطع يَده " .
وَعَن عَائِشَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْها قَالَت : لم تقطع يَد سَارِق فِي عهد رَسُول الله [ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ] فِي أقل من ثمن المجنّ ، جحفة ، أَو ترس ، وَكِلَاهُمَا ذُو ثمن
وَعَن ابْن عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهما ، أَن رَسُول الله [ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ] قطع سَارِقا فِي مجنّ ، قِيمَته ثَلَاثَة دَرَاهِم .
قَالَ إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، أنا ابْنُ جُرَيْجٍ ، أَخْبَرَنِي عَبْدُ رَبِّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ ، أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ ، وَ ابْنَ سَابِطٍ الأَحْوَلَ حَدَّثَاهُ : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أُتِيَ بِعَبْدٍ ، فقِيلَ : هَذَا سَرَقَ ، وَقَامَتْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ ، وَوُجِدَتْ مَعَهُ سَرِقَتُهُ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : هَذَا عَبْدٌ لِأَيْتَامٍ لَيْسَ لَهُمْ غَيْرُهُ ، فَتَرَكَهُ ، ثُمَّ أُتِيَ بِهِ الثَّانِيَةَ ، وَالثَّالِثَةَ ، ثُمَّ الرَّابِعَةَ ، فَتَرَكَهُ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أُتِيَ بِهِ الْخَامِسَةَ ، فَقَطَعَ يَدَهُ ، ثُمَّ أُتِيَ بِهِ السَّادِسَةَ ، فَقَطَعَ رِجْلَهُ ، ثُمَّ السَّابِعَةَ ، فَقَطَعَ يَدَهُ ، ثُمَّ الثَّامِنَةَ ، فَقَطَعَ رِجْلَهُ ثُمَّ قَالَ الْحَارِثُ : أَرْبَعًا بِأَرْبَعٍ ، أَعْفَاهُ أَرْبَعًا ، وَعَاقَبَهُ أَرْبَعًا
المطالب العالية بزوائد الثمانية
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يقطع السارق في ربع دينار فصاعدا
 [ ش ( يقطع السارق ) قال القاضي عياض رضي الله عنه صان الله تعالى الأموال بإيجاب القطع على السارق ولم يجعل ذلك في غير السرقة كالاختلاس والانتهاب والغصب لأن ذلك قليل بالنسبة إلى السرقة ولأنه يمكن استرجاع هذا النوع بالستعداء إلى ولا ة الأمور وتسهل إقامة البينة عليه بخلاف السرقة فإنه تندر إقامة البينة عليها فعظم أمرها واشتدت عقوبتها ليكون أبلغ في الزجر عنها وقد أجمع المسلمون على قطع السارق في الجملة وإن اختلفوا في فروع منه ] صحيح مسلم
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها (( أَنَّ قُرَيْشاً أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ , فَقَالُوا : مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ؟ فَقَالُوا : وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إلاَّ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ , فَقَالَ : أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ؟ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ , فَقَالَ : إنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ , وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ , وَأَيْمُ اللَّهِ : لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا )) .
وَفِي لَفْظٍ (( كَانَتْ امْرَأَةٌ تَسْتَعِيرُ الْمَتَاعَ وَتَجْحَدُهُ , فَأَمَرَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - بِقَطْعِ يَدِهَا )) .
عمدة الأحكام من كلام خير الأنام باب حد السرقة

Dasar kewajiban dilaksanakannya had potong tangan bagi pencuri adalah Al-Quran dan As-Sunnha, dalam  Alquran sebagaimana terdapat dalam surat al Maidah/ 5: 36
والسارق و السارقة فاقطعوا ايديهما ...
Namun dalam Alquran tidak disebutkan ukuran harta / standar yang menyebabkannya dilaksanakannya sanksi tersebut, karena dalam ayat ini hanya ada perintah namun tidak jelas kadar harta yang dicuri maka disinilah fungsi hadits sebagai penjelas al bayan terhadap apa yang terdapat dalam Alquran secara global/ umum.
B.     Defenisi
Secara Etimologi Pencurian adalah mengambil sesuatu secara sembunyi yang belakangnya terpecah dan terbuka dan tidak terdengar tempatnya. Sedangkan dalam terminologi adalah perbuatan seorang mukallaf- ( orang yg sudah dikenakan beban syara’ ) artinya balig dan berakal- harta orang lain secara tersembunyi yang sampai nishabnya dari tempat yang terjaga tanpa adaya subhat pada barang yang dicuri. [3]
Tempat yang terpelihara atau hirz bias dimaknai dua kemungkinan yaitu tempat yang seperti rumah, namun tidak memilki pintu atau pintunya terbuka. Dan tempat yang ada penjaganya meskipun dalam keadaan tidur, atau tempat yang tidak ada penjaganya. Meskipun begitu tempat itu dibangun untuk memelihara barang dan harta dari si pemiliknya.
Dari dua sudut pandang tentang tempat/ lokasi barang curian ini ulama pun mengkategorikan jenis yang kedua lebih kuat untuk diberikan sanksi hukum potong tangan.  Dan bukan berarti pengkategorian ini muutlak diikuti karna problema lokasi barang curian tergantung dengan ‘adah dan susunan system social yang berlaku.
     Perampokan dan pencopet serta perampasan bukanlah bagian dari tindakan pencurian. Karena terma-terma ini semua memiliki defenisi yang berbeda dengan pencurian, jika pencurian secara sembunyi-sembunyi maka terma2 diatas bentuk dari pemaksaan dan terang-terangan.  Ini berimplikasi kepada hukumnya, karena perampokan dan perampasan bukanlah bagian/ satu istilah dengan pencurian maka hukumnya tidaklah dipotong tangannya. Ini sebagaimana pendapat Imam Qadhi ‘Iyadh Ra. Kewajiban potong tangan hanya pada pelaku pencurian dan tidak berlaku kepada selain itu seperti korupsi al-Ikhtilas, perampasan al-Intihab dan ghasab, karena itu sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan pencurian. Apalagi tindak kejahatan diatas dapat diserahkan kepada pemimpin atau hakim dengan menghadirkan barang bukti, dan berbeda dengan pencurian yang jarang membangun bukti atas tindak pidana tersebut. [4] hanya Iyas bin Mua’wiyah yang berpendapat akan wajib potong tangan pada perampasan. Dimana dia berdalil dengan hadits Nabi yang menceritakan tentang perempuan dari kalangan mahzumiyah yang kesohor, dia meminjam perhiasan dan tidak mengakuinya ( dia telah meminjamnya ). [5]
C.     Syarat Nishab
Ulama baik salaf maupun khalaf  sepakat secara umum bahwa sanksi/ had bagi pelaku pencurian adalah potong tangan, namun mereka tidak sepakat jumlah kadar barang yang dicuri atau standar konkrit yang mampu melegalkan sanksi potong tangan bagi pelaku pencurian.
Dilandaskan kepada hadits diatas maka jumhur ulama berpendapat bahwa persyaratan ukuran harta yang dicuri adalah sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh hadits Nabi diatas. Yaitu seperempat dinar. Namun mazhab Zhahiriah berbeda pendapat atas ketentuan sanksi potong tangan, dimana mereka menilai bahwa hukuman potong tangan baik itu sedikit maupun banyak maka tetap dipotong tangan. Berkata Imam An-Nawawi, pendapat ini juga dilontarkan oleh ibn binti syafi’i – dari kalangan kami yakni mazhab As-Syafi’iyah- dan begitu juga disampaikan oleh qadhi ‘iyadh dari Al-Hasan al-Basrhi dan khawarij. [6]
Mereka mengambil dalil / berargumen istidlal dengan ayat Allah dalam surah al-Maidah /5:36. Menurut mereka ayat diatas ialah ayat ‘am dan syamil oleh karena itu baik dalam jumlah yang sedikit maupun banyak maka pelaku pencurian tetap dipotong tangannya. Apalagi dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda :
لَعَنَ الله السارقَ يسرق البيضة فتُقطع يَدُه ويسرق الحبل فتُقطع يَدُه
Telor dan tali dalam hadits diatas sudah barang tentu tidak sampai harganya ¼ dinar atau tiga dirham sebagaimana yang dikatakan oleh jumhur.
Jumhur berpendapat bahwa hadits yang dipakai oleh kalangan mazhab zhahiriah bukanlah bermakna telor atau tali yang biasa, namun hadits ini lebih memaknai secara hakikatnya, telor disini adalah besi dan begitu juga tali yang dimaknai dengan tali kapal. Dan kedua itu jika dimaknai seperti itu maka nilainya telah sampai kepada nishab yang ditetapkan oleh hadits Nabi yang diriwayatkan oleh A’isyah. Dan seandainya hadits ini dimaknai secara eksoterik ( Zahiri ) maka ia telah di nasakh oleh hadits yang mengatakan bahwa nishab harta yang mewajibkan bagi pelaku pencurinya di sanksi potong tangan adalah ¼ dinar.[7]
Berikut kriteria yang diberikan kepada pencuri :
1.      Baligh
2.      Berakal
3.      Bahwa harta yang dicuri bukanlah miliknya
4.      Dan dia tidak memiliki hak atas harta tersebut.
5.      Ibnu Rusydi mengatkan bahwa harta tersebut dalam tempat yang dijaga.  
Adapun kriteria harta yang dicuri yaitu a. Sampai nisab b. Termasuk harta yang  bisa diperjual belikan. C. Bahwa harta tersebut tidak miliki si pencuri. D. Bahwa harta tersebut yang bisa dicuri.[8] 
D.    Kadar Nishab
Sepakat ulama jumhur baik salaf maupun khalaf akan pemberian syarat nishab pada pencurian, namun mereka berbeda pendapat mengenai ukuran nishab tersebut :
1.      Mazhab Syafi’i
Imam as-Syafi’i berpendapagt bahwa nishabnya adalah ¼ dinar emas, atau yang senilai dengannya, seperti bisa 3 dirham atau lebih bahkan kurang. Dan tidak di sanksi potong tangan orang yangmencuri dibawah ¼ dinar emas.
Berkata Imam an-Nawawi, inilah pendapat banyak faqih atau mayoritas.  Yaitu perkataan A’isyah Ra, Umar bin Abd aziz, al-Awza’i, al-laits bin Sa’id, Ishaq bin rahwaih, dan begitu juga riwayat Daud al-Zhahiri. Dalam seuatu riwayat yaitu riwayat Ja’far bin Muhammad disebutkan bahwa Imam Ali kwh. Memberikan sanksi potong tangan kepada pencuri yang mencuri ¼ dinar dimana nilainya sama dengan 2 ½ dirham.
2.      Mazhab Maliki dan Ahmad serta selain mereka
Berkata malik, Ahmad, serta ishaq- dalam satu riwayat- dipotong tangan pencuri pada ¼ dinar atau 3 dirham. Atau yang nilainya salah satu dari keduanya. Dan tiak dipotong yang kurang dari hal tersebut. Mereka berargumen dengan hadits-hadits yang ada diatas. Dimana dalam hadits riwayat bukhori dan muslim bahwa Rasulullah memotong tangan pencuri barang seharga 3 dirham. Pendapat ini juga ditopang oleh perkataan A’isyah bahwa ¼ dinar itu adalah 3 dirham.
3.      Mazhab Hanafi dan selainnya
Abu hanifah serta ulama yang sepemahaman dengannya berpendapat bahwa nishab harta pencurian adalah 10 dirham. Maka tidak boleh potong tangan dibawah dari 10 dirham. Mereka beristidlal ( mengambil dalil ) hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Rasulullah memotong tangan seorang yang mencuri senjata senilai 10 dirham. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu daud, an-Nasa’i, Ahmad serta al-Hakim.
Problema selanjutnya adalah adakah batasan tangan yang disebutkan dalam Al-Quran atau apa-apa saja anggota tubuh pencuri yang harus dipotong. Dalam hal ini Ulama sepakat bahwa kata tangan dalam Al-quran itu juga menunjukkan kepada kaki.
Ulama sepakat apabila seorang pencuri mencuri untuk pertama kalinya bahwa maka tangan kanannya dipotong – ini sebagaiman qiroat Ibnu Mas’ud, dan apabila ia masih mencuri untuk keda kalinya maka kaki kirinya yang dipotong, lagi-lagi jika ia masih mencuri maka tangan kirinya yang dipotong, jika untuk ke-empat kalinya ia mencuri maka kaki kanannya yang dipotong. Ini dinukilkan sebagai ijma’  oleh Imam Qadhi ‘Iyadh.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah
مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فِي السَّارِقِ إنْ سَرَقَ : فَاقْطَعُوا يَدَهُ ثُمَّ إنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ ثُمَّ إنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوا يَدَهُ ثُمَّ إنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ  
 
Namun dalam hadits ini tidak dicantumkan adanya kewajiban penyilangan dalam sanksi ini. Dan jika ia masih mencuri untuk yang kelima kali maka sebagian sarjana hukum Islam Fuqaha’ berpendapat bahwa ia tidak dikenakan sanksi potng lagi, tetapi ia diberikan hukum ta’zir (artinya tergantung ketetapan hakim) atau dipenjara.
Bahkan tidak sedikit Fuqaha’ yang berpendapat sanksi bunuh kepada pencuri yang mencuri untuk kelima kalinya. Pendapat ini dapat kita temukan, diantar mereka yang memilki pemahaman seperti ini ialah Abu Mas’ab az-Zuhri al-Madini yaitu sahabat Imam Malik dan pendapat ini dinisbahkan kepada Imam Malik.
Dimana mereka berargumen dengan hadits dari jabir berkata “ didatangkan seorang pencuri kepada Nabi kemudian nabi bersabda “ bunuhlah dia ” ya rasulullah dia hanya mencuri nabi bersabda” potonglah tangannya ”, kemudia didatangkan orang yang kedua nabi bersabda “ bunuhla dia ” lantas nabi bersabda seperti diatas, hingga didatangkan orang yang kelima, lalu Nabi bersabda “ bunuhlah ia ” . berkata Jabir lalu kami berangkat dan kami bunuh dia kemudia kami lempaarkan ia kedalam sumur. [9]
An-nasa’i menilai bahwa hadits ini adalah munkar dimana didalamnya ada rawi Mus’ab bin Tsabit yang tidak kuat ( bisa dipercaya ). Dan oleh karna itu tidak sah menggunakan dalil / berhujjah hukum melalui hadits ini.  Sedangkan Imam As-Syafi’i menilai hadits ini telah di nasakh dan sebagian ulama lain menilai bahwa hadits ini khusus untuk orang yang disebut dalam hadits tersebut.
E.     Pengampunan bagi pencuri
Sepakat Ulama bahwa si korban / pemiliki harta yang dicuri memiliki hak untuk memaafkan pencuri selama masalah pencurian itu belum diserahkan kepada hakim/ qadhi. Karena penyerahan permasalahan kepada hakim maka disana ada peralihan hak, yang hak sebelumnya masih dimiliki oleh si korban namun jika sudah diserahkan maka itu menjadi hak dan ketentuan Allah atau dengan kata lain hak bagi masyarakat. dalam sebuah hadits Rasulullah dari Amru bin Syua’ib
تعافوا الحدود فيما بينكم فما بلغني من حد فقد وجب
Artinya bermaaf-maaflah pada masalah hudud diantara kamu, maka sesuatu yang telah kepada ku berupa had atau sanksi sungguh dia menjadi wajib.
Dari sini jelaslah bahwa system kekeluargaan dalam masalah hudud merupakan cara bijak bagi manusia untuk mewujudkan ketentraman bagi system sosial yang berlaku dimanapun. 
F.                              Had yang ditetapkan syariat terhadap pelaku pencuri, adalah potong tangan yang sampai nisabnya / qadar harganya senilai ¼ dinar dan begitu juga debatable yang terjadi dikalanga fuqaha’. Dalam perdebatan yang terjadi dikalangan ulama adalah masalah kriteria ukuran harta yang dicuri, dan sanksi yang diberikan jika pencuri tersebut masih mencuri untuk yang kelima kalinya, Apakah ia dibunuh, atau di penjara. Pendapat Jumhur ulama fiqh memiliki dalil yang akuntable sehingga berpegang kepada pendapat jumhur merupakan cara yang efektif untuk memahami had dalam pencurian. Apalagi ada kaedah ra’yu al-Jama’ah aqrabu ila al-haq min ro’yi al-fard artinya analisa (pendapat mayoritas/ jama’ah lebih mendekati kepada kebenaran ketimbang pendapat pribadi/ minoritas).     


[1] البخاري ( 8- 199 ) و مسلم في الحدود ( باب 1حديث 2 )
[2] احمد في الممسند (6-80)
[3] Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syihab, al hudud fi al Islam wa muqaranatuha bi al qawanin al wadhi’iyah ,Kairo, 1974 hal 217  
[4]  Ibid. Hal. 221
[5] Ibnu Rusydi, Bidayat al-Mujtahid, semarang: Toha putra, Juz 2, hal 334
[6] Opcit. Hal 222
[7] Opcit , hal. 223
[8]  Abd al-Rahman al-jazairi, kitab al-fiqh ala mazhab al arba’ah, darul fikr, hal 115-116
[9] Abd Al-Rahman, kitab Al-fiqh ala Mazhab al-Arba’ah hal 121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar